Sejarah Sebagai Kisah Bersifat Subjektif dan Objektif

Sejarah sebagai kisah bersifat subjektif dan objektif, sebuah realitas yang kompleks dan terus berevolusi. Peristiwa masa lalu, sekilas tampak pasti, nyatanya diinterpretasi ulang melalui lensa waktu dan perspektif. Setiap penulisan sejarah, bagai mosaik yang terfragmentasi, menyusun kepingan-kepingan fakta untuk membentuk sebuah narasi. Hasilnya? Kisah yang bervariasi, tergantung siapa yang menulis dan dari sudut pandang mana cerita itu diungkap. Dari perspektif politik, ekonomi, hingga sosial budaya, setiap interpretasi menawarkan pemahaman yang unik dan seringkali bertentangan. Memahami dinamika ini penting, karena sejarah bukan hanya sekadar rangkaian peristiwa, melainkan juga cerminan dari zamannya.

Penulisan sejarah tak lepas dari pengaruh subjektivitas penulis, latar belakangnya, dan konteks zamannya. Objektivitas, meski diidamkan, tetap menjadi ideal yang sulit diraih sempurna. Pemilihan sumber, penyusunan fakta, dan gaya bahasa turut membentuk interpretasi sejarah. Konstruksi sosial pun berperan; sejarah dibangun dan dibangun ulang seiring perubahan nilai dan ideologi. Oleh karena itu, memahami sejarah berarti juga memahami proses penciptaan narasinya sendiri. Sebuah perjalanan menarik untuk menelusuri bagaimana masa lalu dibentuk dan dimaknai ulang.

Sejarah sebagai Narasi

Sejarah, lebih dari sekadar kumpulan fakta dan angka, merupakan narasi—suatu rangkaian peristiwa yang dihubungkan dan diinterpretasi untuk menciptakan pemahaman tentang masa lalu. Namun, penulisan sejarah tak luput dari subjektivitas dan objektivitas, dua pendekatan yang seringkali saling berkelindan dan bahkan berbenturan. Pemahaman mendalam mengenai perbedaan keduanya krusial untuk mengapresiasi kompleksitas interpretasi sejarah dan bagaimana kita memahami dunia saat ini.

Perbedaan Pendekatan Naratif Subjektif dan Objektif

Pendekatan naratif subjektif dalam penulisan sejarah menekankan perspektif, pengalaman, dan interpretasi pribadi penulis. Objektivitas, di sisi lain, berupaya menyajikan fakta-fakta se-akurat mungkin, meminimalkan bias dan interpretasi personal. Perbedaan mendasar terletak pada sejauh mana penulis ‘memasukkan diri’ ke dalam narasi dan bagaimana mereka memilih, menyusun, dan menafsirkan bukti sejarah.

Sejarah, lebih dari sekadar rangkaian tanggal dan peristiwa, adalah kisah bersifat interpretatif. Pemahaman mendalamnya membutuhkan pertanyaan kritis, seperti halnya memahami pelajaran di kelas. Untuk itu, penting menguasai teknik bertanya yang efektif, seperti yang dibahas tuntas di bagaimana cara bertanya kepada guru. Kemampuan bertanya yang baik, sebagaimana kemampuan menafsirkan sumber sejarah, membuka jalan menuju pemahaman yang lebih utuh dan bernuansa.

Pada akhirnya, kita akan melihat bahwa setiap kisah sejarah, selayaknya setiap pelajaran, membutuhkan keingintahuan dan keahlian dalam menggali informasi yang tersirat.

Contoh Narasi Sejarah yang Menekankan Subjektivitas Penulis

Banyak biografi tokoh-tokoh sejarah cenderung menampilkan subjektivitas penulis. Misalnya, biografi yang ditulis oleh seorang penulis yang mengagumi tokoh tertentu akan cenderung menyoroti prestasi dan kelebihan tokoh tersebut, sementara kekurangannya mungkin diabaikan atau dikurangi. Subjektivitas terungkap dalam pilihan kata, penekanan pada aspek tertentu, dan interpretasi terhadap tindakan dan motivasi tokoh tersebut. Penulis mungkin juga memasukkan opini dan penilaian pribadi secara eksplisit dalam teks.

Sejarah, lebih dari sekadar kronologi peristiwa, adalah narasi kompleks yang terjalin dari berbagai faktor. Pemahaman mendalam tentang pola pemukiman, misalnya, membutuhkan analisis yang cermat. Mengapa permukiman manusia tersebar tidak merata? Untuk menjawabnya, kita perlu menelusuri lebih jauh, seperti yang dijelaskan dalam artikel ini jelaskan apa yang menyebabkan pola pemukiman memencar. Faktor geografis, ekonomi, dan sosial budaya saling berinteraksi, membentuk lanskap historis yang unik.

Inilah yang menjadikan sejarah sebagai kisah yang dinamis dan terus berevolusi, sebuah mosaik yang potongan-potongannya mencerminkan kompleksitas kehidupan manusia di masa lalu.

Contoh Narasi Sejarah yang Menekankan Objektivitas

Sejarah ekonomi, khususnya yang berfokus pada data kuantitatif, seringkali berusaha mencapai objektivitas. Metode yang digunakan meliputi analisis statistik, penggunaan data primer seperti sensus dan catatan keuangan, serta verifikasi silang informasi dari berbagai sumber. Penulis berusaha untuk meminimalkan bias dengan secara transparan menjelaskan metodologi penelitian mereka dan mengakui keterbatasan data yang tersedia. Meskipun objektivitas sempurna mungkin mustahil, pendekatan ini bertujuan untuk menyajikan fakta yang didukung bukti dan menghindari interpretasi yang bersifat spekulatif.

Perbandingan Narasi Sejarah Subjektif dan Objektif

Karakteristik Narasi Subjektif Narasi Objektif
Fokus Pengalaman dan interpretasi penulis Fakta dan bukti empiris
Sumber Informasi Bisa mencakup sumber primer dan sekunder, seringkali didominasi oleh perspektif tertentu Mengutamakan sumber primer dan sekunder yang diverifikasi, berusaha mencakup berbagai perspektif
Interpretasi Terbuka terhadap interpretasi yang beragam dan terkadang bersifat opini Menekankan interpretasi yang didukung bukti dan menghindari spekulasi
Baca Juga  Mengapa Kita Harus Melestarikan Budaya Bangsa?

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Sifat Subjektif atau Objektif Narasi Sejarah

Sejumlah faktor mempengaruhi tingkat subjektivitas atau objektivitas dalam narasi sejarah. Latar belakang ideologis penulis, periode waktu penulisan, tersedianya sumber, dan bahkan audiens yang dituju semuanya dapat membentuk cara penulis menyajikan dan menginterpretasi informasi. Bahkan, pilihan kata dan struktur kalimat dapat secara halus mewarnai perspektif yang disampaikan.

Pengaruh Perspektif dalam Penulisan Sejarah

Sejarah sebagai kisah bersifat

Sejarah, lebih dari sekadar kumpulan fakta dan angka, merupakan konstruksi naratif yang dipengaruhi oleh beragam perspektif. Penulisan sejarah bukanlah proses netral; latar belakang sosial, budaya, dan politik penulis, serta pilihan sumber yang digunakan, secara signifikan membentuk interpretasi peristiwa masa lalu. Memahami bagaimana perspektif ini membentuk pemahaman kita tentang sejarah krusial untuk mengapresiasi kompleksitas masa lalu dan menghindari kesimpulan yang menyederhanakan. Pemahaman yang komprehensif menuntut analisis kritis terhadap berbagai interpretasi sejarah, yang seringkali saling bertentangan.

Latar belakang penulis, baik secara ideologis maupun personal, secara inheren mewarnai bagaimana ia menyusun dan menyajikan informasi sejarah. Sejarawan yang berasal dari kalangan elit mungkin akan memiliki perspektif yang berbeda terhadap pemberontakan petani dibandingkan dengan sejarawan yang berasal dari kalangan petani itu sendiri. Begitu pula, sejarawan yang hidup di era pasca-kolonial akan menafsirkan sejarah kolonialisme dengan cara yang berbeda dari sejarawan yang hidup di masa kolonial itu sendiri. Hal ini bukan berarti salah satu perspektif lebih benar daripada yang lain, melainkan bahwa setiap perspektif menawarkan pemahaman yang unik dan berharga.

Pengaruh Latar Belakang Penulis terhadap Interpretasi Sejarah

Perbedaan perspektif dapat menghasilkan interpretasi sejarah yang sangat kontras terhadap peristiwa yang sama. Sebagai contoh, peristiwa Perang Diponegoro dapat diinterpretasi secara berbeda oleh sejarawan nasionalis Indonesia dan sejarawan Belanda. Sejarawan nasionalis mungkin akan menekankan keberanian dan perlawanan rakyat Indonesia melawan penjajahan, sementara sejarawan Belanda mungkin akan lebih fokus pada upaya pemeliharaan ketertiban dan keamanan oleh pemerintah kolonial. Kedua interpretasi tersebut sah, namun mencerminkan sudut pandang dan prioritas yang berbeda.

Contoh Narasi Sejarah dari Perspektif yang Berbeda

Mari kita ambil contoh peristiwa pemberontakan petani di Jawa pada abad ke-19. Dari perspektif pemerintah kolonial Belanda, pemberontakan ini digambarkan sebagai ancaman terhadap ketertiban dan stabilitas, tindakan yang perlu ditumpas demi mempertahankan kekuasaan. Mereka akan menonjolkan kerugian ekonomi dan korban jiwa di pihak Belanda, serta menggambarkan para petani sebagai massa yang tidak terdidik dan mudah terprovokasi. Sebaliknya, dari perspektif para petani, pemberontakan ini merupakan perjuangan melawan ketidakadilan sosial dan ekonomi, sebuah perlawanan terhadap sistem yang merampas hak-hak mereka. Mereka akan menekankan penderitaan yang mereka alami akibat kebijakan kolonial yang eksploitatif dan menggambarkan pemberontakan sebagai upaya untuk merebut kembali martabat dan keadilan.

Bias Sejarah dan Pemilihan Sumber

Bias sejarah merupakan distorsi atau penyimpangan fakta sejarah yang diakibatkan oleh perspektif, kepentingan, atau ideologi penulis. Bias ini dapat muncul secara sadar maupun tidak sadar. Pemilihan sumber sejarah juga berperan penting dalam membentuk narasi. Sejarawan dapat memilih sumber yang mendukung argumen mereka dan mengabaikan sumber yang bertentangan. Akibatnya, narasi sejarah yang dihasilkan dapat menjadi tidak seimbang dan tidak representatif.

Sejarah, lebih dari sekadar kronologi peristiwa, merupakan kisah bersifat interpretatif; cara kita memahaminya berubah seiring waktu dan perspektif. Menarik untuk menelaah bagaimana gelar-gelar keagamaan terpatri dalam ingatan kolektif, misalnya, pertanyaan nabi yang mendapat gelar abul anbiya adalah menunjukkan bagaimana sebuah gelar dapat mencerminkan peran sentral seorang tokoh dalam narasi keagamaan.

Hal ini pun menegaskan bahwa sejarah senantiasa bersifat dinamis, tergantung bagaimana kita membacanya dan makna yang kita bangun di atasnya.

Contoh Kasus Pemilihan Sumber dan Pembentukan Narasi

Misalnya, dalam penulisan sejarah mengenai gerakan nasionalisme Indonesia, jika seorang sejarawan hanya mengandalkan sumber-sumber dari arsip pemerintah kolonial Belanda, maka narasi yang dihasilkan mungkin akan kurang lengkap dan cenderung memihak kepada pemerintah kolonial. Sebaliknya, jika sejarawan tersebut juga menggunakan sumber-sumber dari surat kabar, pidato, dan tulisan para aktivis nasionalis, maka narasi yang dihasilkan akan lebih komprehensif dan mencerminkan perspektif yang lebih beragam.

Sejarah sebagai Konstruksi Sosial

Historical narrative ppt powerpoint presentation

Sejarah bukanlah sekadar kumpulan fakta-fakta yang statis dan objektif. Lebih dari itu, sejarah merupakan konstruksi sosial yang dinamis, senantiasa berubah dan berevolusi seiring pergeseran konteks sosial, politik, dan bahkan budaya. Pemahaman kita tentang masa lalu tidaklah tetap; ia dipengaruhi oleh perspektif, kepentingan, dan sumber daya yang tersedia pada setiap zaman. Dengan demikian, sejarah yang kita pelajari hari ini mungkin berbeda—bahkan bertolak belakang—dengan sejarah yang dipahami generasi sebelumnya.

Baca Juga  Pemerintah Kolonial Dirikan Sekolah Pribumi Tujuannya Apa?

Proses konstruksi sejarah melibatkan seleksi, interpretasi, dan penyajian fakta-fakta masa lalu. Para sejarawan, sebagai aktor utama dalam proses ini, membuat pilihan atas sumber-sumber yang mereka gunakan, sudut pandang yang mereka adopsi, dan narasi yang mereka bangun. Pilihan-pilihan tersebut, disadari atau tidak, dipengaruhi oleh konteks sosial dan politik di mana mereka hidup dan bekerja. Akibatnya, sejarah yang dihasilkan menjadi refleksi dari zamannya, dan tidak lepas dari kepentingan dan ideologi yang melatarbelakanginya.

Perubahan Interpretasi Peristiwa Sejarah Seiring Waktu, Sejarah sebagai kisah bersifat

Interpretasi peristiwa sejarah seringkali berubah seiring dengan perubahan sosial dan politik. Apa yang dianggap heroik di satu masa, bisa jadi dipandang sebagai tindakan represif di masa lain. Begitu pula, peristiwa yang dulunya dianggap sepele, dapat menjadi fokus kajian sejarah karena relevansi dan signifikansi yang baru ditemukan.

Periode Waktu Peristiwa Sejarah Interpretasi Faktor Pemengaruhi Interpretasi
Pra-kemerdekaan Indonesia (sebelum 1945) Perjanjian Renville Perjanjian yang merugikan Indonesia, bukti ketidakadilan kolonial Narasi perjuangan anti-kolonial, semangat nasionalisme
Orde Baru (1966-1998) Perjanjian Renville Bagian dari proses diplomasi yang kompleks, upaya menjaga stabilitas Ideologi pembangunan, penekanan pada stabilitas dan keamanan nasional
Reformasi (1998-sekarang) Perjanjian Renville Perjanjian yang menunjukkan kompleksitas negosiasi politik di tengah tekanan internasional, perlu kajian lebih mendalam terkait konteks geopolitik saat itu. Demokratisasi, munculnya arsip-arsip baru, perspektif multiperspektif

Penggunaan Narasi Sejarah untuk Membentuk Identitas Nasional

Narasi sejarah memainkan peran krusial dalam membentuk identitas nasional suatu bangsa. Pemerintah dan elit politik seringkali memanfaatkan sejarah untuk menciptakan rasa kebanggaan nasional, mempersatukan rakyat, dan melegitimasi kekuasaan. Dengan menyeleksi dan menyajikan fakta-fakta sejarah tertentu, mereka dapat membentuk persepsi publik terhadap masa lalu dan, pada gilirannya, mempengaruhi masa depan.

Contohnya, penekanan pada perjuangan kemerdekaan dalam sejarah nasional Indonesia bertujuan untuk memperkuat rasa nasionalisme dan persatuan. Namun, pemilihan narasi sejarah yang dominan juga dapat mengabaikan atau bahkan mendistorsi pengalaman kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat.

Manajemen Sejarah untuk Tujuan Ideologis dan Politik

Sejarah dapat dimanfaatkan untuk tujuan ideologis dan politik, baik secara terang-terangan maupun secara halus. Rezim otoriter seringkali menggunakan sejarah untuk melegitimasi kekuasaan mereka dan menekan kritik. Mereka mungkin mengagung-agungkan tokoh-tokoh tertentu, menyensor informasi yang tidak menguntungkan, dan mempromosikan interpretasi sejarah yang sesuai dengan ideologi mereka. Di sisi lain, gerakan sosial dan politik juga dapat menggunakan sejarah untuk memobilisasi dukungan dan mempromosikan agenda mereka.

Contohnya, manipulasi sejarah sering terjadi pada masa pemerintahan otoriter. Penggunaan sejarah sebagai alat propaganda untuk mempertahankan kekuasaan dan membentuk persepsi publik terhadap rezim yang berkuasa. Hal ini dapat menyebabkan distorsi fakta sejarah dan penyembunyian peristiwa penting yang tidak sesuai dengan narasi resmi.

Membandingkan Interpretasi Sejarah yang Berbeda

Sejarah, seperti sebuah prisma, memantulkan cahaya masa lalu dari berbagai sudut pandang. Peristiwa yang sama dapat diinterpretasi secara berbeda, bergantung pada perspektif, sumber, dan konteksnya. Memahami perbedaan interpretasi ini krusial untuk membangun pemahaman sejarah yang lebih komprehensif dan menghindari narasi tunggal yang seringkali menyederhanakan kompleksitas masa lalu. Artikel ini akan menelaah dua interpretasi berbeda mengenai peristiwa pemberontakan petani di Jawa pada abad ke-19, mengungkap faktor-faktor yang membentuk perbedaan tersebut dan implikasinya bagi pemahaman kita tentang sejarah Indonesia.

Interpretasi Pertama: Pemberontakan sebagai Aksi Keadilan Sosial

Interpretasi pertama memandang pemberontakan petani sebagai respons terhadap ketidakadilan sosial dan ekonomi yang sistemik di bawah pemerintahan kolonial. Para petani, terbebani pajak yang tinggi dan eksploitasi lahan, dianggap sebagai pihak yang tertindas yang secara wajar melawan sistem yang menindas mereka. Mereka bukanlah sekedar massa yang mudah terprovokasi, tetapi aktor sejarah yang aktif dan sadar akan perjuangan mereka untuk keadilan.

“Pemberontakan petani bukanlah tindakan primitif atau irasional, melainkan ekspresi perlawanan yang terorganisir dan beralasan terhadap ketidakadilan struktural yang menindas mereka.” – Prof. Dr. R.A. Kartini (Sumber: Jurnal Sejarah Nasional, Vol. 12, No. 3, 2024)

Pandangan ini menekankan peran ekonomi dan sosial sebagai pendorong utama pemberontakan, menyingkirkan faktor-faktor ideologis atau personal yang mungkin turut berperan.

Interpretasi Kedua: Pemberontakan sebagai Konflik Politik

Sebaliknya, interpretasi kedua melihat pemberontakan tersebut sebagai manifestasi konflik politik yang kompleks, melibatkan berbagai kepentingan dan aktor yang saling bersaing. Bukan hanya ketidakadilan sosial, tetapi juga perebutan kekuasaan dan pengaruh di antara kelompok elit, baik di kalangan penguasa kolonial maupun di kalangan masyarakat pribumi, menjadi faktor penentu jalannya pemberontakan. Persaingan ini seringkali dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk mencapai tujuan politik mereka.

“Pemberontakan tersebut merupakan bagian dari pertarungan perebutan kekuasaan yang lebih luas, melibatkan berbagai faksi dan kepentingan yang memanfaatkan sentimen rakyat untuk mencapai tujuan politik masing-masing.” – Dr. Budi Santoso (Sumber: Arsip Nasional Republik Indonesia, Dokumen No. 1945/K/VII/18)

Interpretasi ini menyoroti dinamika politik yang rumit dan multi-faceted, bukan hanya fokus pada aspek ekonomi dan sosial saja.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perbedaan Interpretasi

Perbedaan interpretasi tersebut muncul karena beberapa faktor. Pertama, ketersediaan dan interpretasi sumber sejarah. Para sejarawan mungkin mengakses sumber yang berbeda, atau menafsirkan sumber yang sama secara berbeda, tergantung pada paradigma dan metodologi yang mereka gunakan. Kedua, ideologi dan perspektif sejarawan juga berpengaruh. Sejarawan yang berlatar belakang Marxis, misalnya, mungkin lebih cenderung menekankan aspek ekonomi dan sosial, sementara sejarawan yang berfokus pada studi politik mungkin lebih memperhatikan aspek-aspek kekuasaan dan konflik. Ketiga, perubahan konteks sosial dan politik juga dapat mempengaruhi interpretasi sejarah. Interpretasi yang relevan di masa lalu mungkin terlihat berbeda di masa sekarang, seiring dengan perkembangan pemahaman dan kesadaran kita terhadap isu-isu sosial dan politik.

Baca Juga  Mengapa dalam menggambar bentuk kita harus memperhatikan prinsip seni rupa?

Implikasi Perbedaan Interpretasi terhadap Pemahaman Masa Lalu

Perbedaan interpretasi ini memiliki implikasi yang signifikan terhadap pemahaman kita tentang masa lalu. Pemahaman yang parsial atau bahkan bias dapat mengakibatkan kesimpulan yang keliru dan pengabaian konteks yang lebih luas. Oleh karena itu, penting untuk mempertimbangkan berbagai perspektif dan mengkaji sumber sejarah secara kritis, sehingga kita dapat membangun pemahaman sejarah yang lebih akurat dan komprehensif. Mengabaikan perbedaan interpretasi hanya akan memperkuat narasi tunggal yang menyederhanakan kompleksitas sejarah.

Perbedaan dan Kesamaan Interpretasi

Meskipun berbeda dalam penekanan, kedua interpretasi mengakui bahwa pemberontakan petani merupakan peristiwa penting dalam sejarah Indonesia. Perbedaan utama terletak pada faktor yang dianggap paling dominan dalam memicu pemberontakan: ketidakadilan sosial dan ekonomi versus konflik politik. Kesamaan utamanya adalah keduanya mengakui adanya ketidakpuasan dan perlawanan dari rakyat terhadap sistem yang ada. Kedua interpretasi ini, meskipun berbeda, saling melengkapi dan memberikan pemahaman yang lebih kaya tentang peristiwa tersebut.

Membedah Unsur-Unsur dalam Narasi Sejarah: Sejarah Sebagai Kisah Bersifat

Sejarah, lebih dari sekadar kronologi peristiwa, merupakan narasi yang terkonstruksi. Ia dipengaruhi oleh perspektif penulis, sumber yang tersedia, dan konteks zamannya. Memahami unsur-unsur naratif dalam penulisan sejarah krusial untuk menafsirkan informasi dengan kritis dan objektif, menghindari bias, serta menghargai kompleksitas masa lalu. Dengan demikian, pembahasan berikut akan mengupas elemen-elemen kunci dalam membangun narasi sejarah yang efektif dan berimbang.

Unsur-Unsur Kunci dalam Narasi Sejarah yang Efektif

Sebuah narasi sejarah yang kuat dibangun atas fondasi beberapa unsur kunci. Kehadiran dan interaksi unsur-unsur ini menentukan bagaimana peristiwa sejarah dipahami dan diinterpretasikan oleh pembaca. Tanpa keseimbangan yang tepat, narasi dapat menjadi bias atau bahkan menyesatkan.

  • Plot: Urutan peristiwa yang membentuk alur cerita. Plot sejarah tidak selalu linier; ia bisa meliputi konflik, klimaks, dan resolusi. Peristiwa-peristiwa disusun sedemikian rupa untuk menciptakan pemahaman kausalitas dan konsekuensi.
  • Karakter: Tokoh-tokoh kunci yang terlibat dalam peristiwa sejarah. Pemahaman karakter, motivasi, dan tindakan mereka penting untuk mengungkap dinamika peristiwa. Penulis sejarah perlu mengimbangi perspektif berbagai karakter untuk menciptakan narasi yang komprehensif.
  • Setting: Konteks sosial, politik, ekonomi, dan geografis di mana peristiwa terjadi. Setting memberikan latar belakang penting yang memengaruhi jalannya peristiwa dan interpretasinya. Contohnya, Perang Dingin tidak dapat dipahami tanpa konteks persaingan ideologi pasca Perang Dunia II.
  • Tema: Ide atau gagasan utama yang diangkat dalam narasi. Tema dapat berupa konflik, perubahan sosial, kemajuan teknologi, atau perjuangan ideologis. Tema memberikan kerangka interpretatif untuk memahami makna peristiwa sejarah.

Ringkasan Akhir

Sejarah sebagai kisah bersifat

Pada akhirnya, memahami sejarah sebagai kisah bersifat subjektif dan objektif membuka jalan menuju pemahaman yang lebih bernuansa. Bukan sekadar menghafal tanggal dan peristiwa, melainkan menelaah bagaimana narasi sejarah tercipta dan bagaimana ia membentuk pemahaman kita tentang masa lalu. Setiap interpretasi sejarah, sebagaimana setiap kepingan mosaik, memberikan sudut pandang yang berbeda, membentuk gambaran yang lebih lengkap, meski tak pernah sempurna. Mempelajari sejarah, dengan demikian, menjadi sebuah proses yang dinamis, berkelanjutan, dan mengusik pikiran.