Mengapa dalam ekonomi syariah melarang adanya riba

Mengapa Ekonomi Syariah Melarang Riba?

Mengapa dalam ekonomi syariah melarang adanya riba – Mengapa ekonomi syariah melarang adanya riba? Pertanyaan ini menguak inti dari sistem ekonomi Islam yang mengedepankan keadilan dan kesejahteraan. Riba, dalam pandangan syariat, bukan sekadar bunga, melainkan praktik ekonomi yang merusak tatanan sosial dan ekonomi. Ia menimbulkan kesenjangan, menghambat pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, dan menciptakan ketidakadilan struktural. Sistem ini, yang berakar pada Al-Quran dan Hadits, menekankan pentingnya kerjasama ekonomi yang adil dan saling menguntungkan, jauh dari eksploitasi dan penindasan. Memahami larangan riba berarti memahami prinsip-prinsip dasar ekonomi syariah yang mendalam dan dampaknya yang luas terhadap kehidupan manusia.

Larangan riba bukan sekadar aturan agama, melainkan mekanisme untuk menciptakan sistem ekonomi yang berkelanjutan dan berkeadilan. Berbeda dengan ekonomi konvensional yang seringkali memicu siklus hutang dan kemiskinan, ekonomi syariah menawarkan alternatif transaksi yang menghindari eksploitasi. Mekanisme seperti bagi hasil (profit sharing), mudharabah, dan murabahah dirancang untuk menciptakan hubungan ekonomi yang transparan dan saling menguntungkan. Implementasinya, memang, mengalami tantangan, namun potensi ekonomi syariah untuk membangun perekonomian yang lebih adil dan berkelanjutan sangatlah besar. Dengan memahami definisi riba, dampak negatifnya, dan alternatif transaksi syariah, kita dapat mengapresiasi kebijaksanaan di balik larangan ini.

Definisi Riba dalam Ekonomi Syariah

Mengapa dalam ekonomi syariah melarang adanya riba

Riba, praktik yang dilarang tegas dalam Islam, merupakan isu sentral dalam ekonomi syariah. Pemahaman yang komprehensif tentang riba, baik dari perspektif Al-Quran dan Hadits maupun perbandingannya dengan praktik ekonomi konvensional, krusial untuk membangun sistem keuangan yang adil dan berkelanjutan. Artikel ini akan mengurai definisi riba, membandingkan jenis-jenisnya, serta memberikan contoh kasus untuk memperjelas larangan tersebut.

Definisi Riba Menurut Al-Quran dan Hadits

Al-Quran secara eksplisit mengharamkan riba dalam beberapa ayat, menekankan dampak negatifnya terhadap kesejahteraan masyarakat. Hadits Nabi Muhammad SAW juga memperkuat larangan ini dengan berbagai penjelasan dan contoh kasus. Secara umum, riba didefinisikan sebagai pengambilan keuntungan tambahan yang tidak berdasarkan pada nilai tukar barang atau jasa yang sebenarnya, melainkan berasal dari selisih harga atau penambahan jumlah uang yang dipinjamkan. Ini berbeda dengan keuntungan yang diperoleh dari usaha riil dan kerja keras.

Perbedaan Riba dalam Perspektif Ekonomi Konvensional dan Ekonomi Syariah

Dalam ekonomi konvensional, bunga (interest) seringkali dianggap sebagai mekanisme yang lumrah dan bahkan esensial dalam sistem keuangan. Bunga dipandang sebagai kompensasi atas risiko yang ditanggung oleh pemberi pinjaman dan sebagai insentif untuk investasi. Sebaliknya, ekonomi syariah memandang bunga sebagai bentuk riba yang haram. Sistem keuangan syariah menawarkan alternatif seperti bagi hasil (profit sharing) dan mudharabah (bagi hasil antara pemberi modal dan pengelola) sebagai mekanisme pembiayaan yang lebih etis dan berkelanjutan.

Jenis-Jenis Riba yang Dilarang dalam Ekonomi Syariah

Riba dalam ekonomi syariah memiliki berbagai bentuk. Secara umum, riba dibagi menjadi dua kategori utama: riba al-fadhl (riba dalam jual beli) dan riba al-nasi’ah (riba dalam transaksi kredit). Riba al-fadhl terjadi ketika terjadi pertukaran barang sejenis dengan jumlah yang tidak seimbang, misalnya menukarkan 1 kg emas dengan 1,1 kg emas. Sementara riba al-nasi’ah merujuk pada tambahan pembayaran yang disepakati di masa mendatang atas pinjaman yang diberikan.

Larangan riba dalam ekonomi syariah berakar pada prinsip keadilan dan keseimbangan. Eksploitasi finansial, seperti yang terjadi dalam riba, dianggap merusak tatanan sosial. Analogi sederhana: bagaimana kita bisa berharap kehidupan ekonomi yang sehat jika prinsip dasar berbagi keuntungan secara adil terabaikan? Hal ini mengingatkan kita pada pentingnya menjaga keseimbangan dalam aspek kehidupan lain, misalnya kebersihan rumah.

Menjaga kebersihan rumah, sebagaimana dijelaskan dalam artikel mengapa kita harus menjaga kebersihan rumah , menciptakan lingkungan hidup yang sehat dan produktif. Sama halnya dengan ekonomi syariah yang menolak riba demi menciptakan sistem keuangan yang berkelanjutan dan berkeadilan, sehingga tercipta kesejahteraan bersama. Intinya, baik dalam ekonomi syariah maupun dalam kehidupan sehari-hari, prinsip keadilan dan keseimbangan menjadi kunci utama.

Selain itu, terdapat pula jenis riba lainnya yang juga termasuk haram, seperti riba jahiliyah (riba yang prakteknya sudah ada sejak zaman jahiliyah), riba gharar (riba yang mengandung ketidakpastian), dan riba yang terjadi karena manipulasi harga.

Baca Juga  Sertifikat ISO Panduan Lengkap Bisnis

Tabel Perbandingan Riba dalam Ekonomi Konvensional dan Ekonomi Syariah

Jenis Riba Definisi (Ekonomi Konvensional) Definisi (Ekonomi Syariah) Dampak
Bunga Bank Kompensasi atas pinjaman modal Riba al-nasi’ah, haram Ketidakadilan distribusi kekayaan, potensi krisis finansial
Selisih Harga (Jual Beli) Mekanisme pasar Potensi riba al-fadhl jika terjadi ketidakseimbangan yang signifikan Ketidakadilan dalam transaksi, merugikan salah satu pihak
Pinjaman dengan Keuntungan Berlebih Cara umum untuk mendapatkan keuntungan Riba al-nasi’ah, haram Eksploitasi, ketidakadilan, menimbulkan kesenjangan ekonomi

Contoh Kasus Transaksi yang Mengandung Riba

Misalnya, seseorang meminjam uang sebesar Rp 10 juta dengan kesepakatan akan mengembalikan Rp 12 juta setelah satu tahun. Selisih Rp 2 juta tersebut merupakan riba al-nasi’ah karena merupakan tambahan yang tidak didasarkan pada usaha atau kerja keras peminjam. Transaksi ini haram dalam ekonomi syariah karena mengandung unsur eksploitasi dan ketidakadilan.

Contoh lain adalah pertukaran 1 kg beras kualitas premium dengan 1,2 kg beras kualitas standar. Jika selisihnya signifikan dan tidak mencerminkan perbedaan kualitas yang substansial, maka transaksi tersebut dapat dikategorikan sebagai riba al-fadhl.

Dampak Negatif Riba terhadap Perekonomian

Riba part practical islam discuss implications well series will alternatives muslims canada living today

Riba, atau bunga dalam konteks keuangan konvensional, merupakan praktik yang dilarang dalam ekonomi syariah. Larangan ini bukan sekadar dogma agama, melainkan didasarkan pada pemahaman mendalam tentang dampak negatifnya terhadap kesejahteraan individu dan stabilitas perekonomian secara makro. Pengaruh riba bersifat sistemik, merambat dari individu hingga ke tatanan ekonomi nasional, menciptakan ketidakseimbangan dan menghambat pertumbuhan berkelanjutan. Berikut uraian lebih lanjut mengenai dampak negatif riba terhadap perekonomian.

Distribusi Kekayaan yang Tidak Merata

Riba cenderung memperbesar kesenjangan ekonomi. Mekanisme bunga menyebabkan akumulasi kekayaan terkonsentrasi di tangan segelintir pemberi pinjaman (kreditur), sementara peminjam (debitur) terjebak dalam siklus hutang yang sulit diputus. Ini menciptakan struktur ekonomi yang tidak adil, di mana sebagian besar masyarakat terbebani oleh beban bunga yang terus membengkak, sementara sebagian kecil lainnya menikmati keuntungan finansial yang terus meningkat. Akumulasi kekayaan yang tidak merata ini dapat memicu berbagai masalah sosial, seperti meningkatnya kemiskinan dan ketidakstabilan sosial. Bayangkan sebuah ilustrasi: sekelompok pengusaha kecil yang meminjam modal dengan bunga tinggi untuk mengembangkan usahanya. Keuntungan yang mereka peroleh tergerus oleh beban bunga, sehingga sulit untuk berkembang dan keluar dari jerat hutang. Sebaliknya, bank atau lembaga keuangan sebagai pemberi pinjaman justru menikmati keuntungan berlipat ganda dari bunga tersebut.

Prinsip-prinsip Ekonomi Syariah yang Menolak Riba

Larangan riba dalam ekonomi syariah bukan sekadar aturan agama, melainkan pilar fundamental yang menopang sistem ekonomi yang adil, berkelanjutan, dan berorientasi pada kesejahteraan umat. Ia merupakan cerminan nilai-nilai Islam yang menjunjung tinggi keadilan, kemaslahatan, dan kebebasan ekonomi yang bertanggung jawab. Pemahaman mendalam terhadap prinsip-prinsip ekonomi syariah yang mendasari larangan riba menjadi kunci untuk mengapresiasi dan mengimplementasikan sistem keuangan yang lebih inklusif dan bermartabat.

Keadilan dalam Ekonomi Syariah dan Larangan Riba

Prinsip keadilan menjadi landasan utama larangan riba. Riba, yang berarti pengambilan keuntungan yang berlebihan dan tidak proporsional, dianggap sebagai bentuk ketidakadilan karena menciptakan disparitas ekonomi yang signifikan. Pihak yang lemah, misalnya, seringkali terjebak dalam siklus hutang yang tak berujung akibat bunga berlebih. Ekonomi syariah, sebaliknya, menekankan pada keseimbangan dan keadilan dalam transaksi, di mana keuntungan dan resiko ditanggung bersama oleh semua pihak yang terlibat. Transaksi yang adil memastikan distribusi kekayaan yang lebih merata dan mengurangi kesenjangan ekonomi. Hal ini sejalan dengan ajaran Islam yang mendorong persaudaraan dan kepedulian sosial.

Kemaslahatan sebagai Inti Larangan Riba

Konsep kemaslahatan (maslahah) dalam Islam mengacu pada upaya untuk mencapai kebaikan dan menolak keburukan. Larangan riba sejalan dengan prinsip ini karena riba seringkali berdampak negatif terhadap perekonomian secara keseluruhan. Ia dapat memicu inflasi, spekulasi, dan ketidakstabilan ekonomi. Sistem keuangan syariah, dengan menghindari riba, bertujuan untuk menciptakan stabilitas ekonomi yang berkelanjutan dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Dengan demikian, kemaslahatan masyarakat menjadi prioritas utama, bukan semata-mata mengejar keuntungan maksimal.

Kebebasan Ekonomi dalam Islam tanpa Riba

Kebebasan ekonomi dalam Islam tidak berarti kebebasan tanpa batas. Ia tetap terikat pada prinsip-prinsip syariah, termasuk larangan riba. Kebebasan ekonomi dalam konteks ini lebih menekankan pada kebebasan untuk berinovasi dan mengembangkan model bisnis yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Hal ini telah memunculkan berbagai instrumen keuangan syariah seperti mudharabah (bagi hasil), murabahah (jual beli dengan harga pokok plus margin keuntungan), dan musyarakah (kerja sama usaha). Instrumen-instrumen ini menawarkan alternatif yang etis dan adil untuk transaksi keuangan konvensional yang berbasis riba.

Prinsip-prinsip dasar ekonomi syariah yang relevan dengan larangan riba meliputi: keadilan (adalah), kemaslahatan (manfaat), kebebasan ekonomi (terkendali), dan tanggung jawab sosial (kesejahteraan). Semua prinsip ini saling berkaitan dan bekerja sama untuk menciptakan sistem ekonomi yang adil, berkelanjutan, dan berorientasi pada kesejahteraan umat.

Contoh Sistem Keuangan Syariah yang Menghindari Riba

Salah satu contoh sistem keuangan syariah yang menghindari riba adalah sistem bagi hasil (profit-sharing). Dalam sistem ini, bank syariah dan nasabah berbagi keuntungan dan kerugian atas suatu proyek atau usaha. Hal ini berbeda dengan sistem bunga konvensional di mana bank selalu mendapatkan keuntungan tetap terlepas dari keberhasilan atau kegagalan proyek. Contoh lain adalah sistem jual beli dengan harga pokok plus margin keuntungan (murabahah), di mana keuntungan sudah disepakati di awal transaksi. Transparansi dan kesepakatan bersama menjadi kunci keberhasilan sistem ini. Model lain yang berkembang adalah sistem pembiayaan berbasis aset seperti ijarah (sewa) dan salam (jual beli dengan pembayaran dimuka). Masing-masing model ini menawarkan mekanisme yang berbeda namun tetap berpegang pada prinsip-prinsip syariah.

Baca Juga  Negara ASEAN yang paling banyak memiliki universitas adalah Indonesia

Alternatif Transaksi yang Sesuai Syariah: Mengapa Dalam Ekonomi Syariah Melarang Adanya Riba

Larangan riba dalam ekonomi syariah mendorong terciptanya berbagai mekanisme transaksi alternatif yang adil dan berkelanjutan. Sistem ini tidak hanya menghindari eksploitasi finansial, tetapi juga membangun hubungan ekonomi yang lebih sehat dan etis antara pemberi dan penerima dana. Berbagai model pembiayaan ini dirancang untuk mengakomodasi kebutuhan transaksi keuangan tanpa melanggar prinsip-prinsip syariah. Berikut beberapa contohnya.

Murabahah: Jual Beli dengan Keuntungan yang Disepakati

Murabahah merupakan salah satu instrumen pembiayaan paling umum dalam ekonomi syariah. Dalam mekanisme ini, bank atau lembaga keuangan membeli suatu barang dengan harga tertentu, kemudian menjualnya kepada nasabah dengan harga yang lebih tinggi, dimana selisih harga tersebut merupakan keuntungan (profit) yang telah disepakati di awal. Transparansi harga pokok barang menjadi kunci utama untuk menghindari unsur riba. Misalnya, bank membeli sebuah mobil seharga Rp 200 juta, lalu menjualnya kepada nasabah seharga Rp 220 juta, dengan selisih Rp 20 juta sebagai keuntungan yang telah disepakati bersama. Keuntungan ini merupakan imbalan atas jasa bank, bukan bunga yang dilarang dalam syariah.

Bagi Hasil (Profit Sharing) sebagai Pilar Keadilan

Sistem bagi hasil, seperti mudharabah dan musyarakah, merupakan alternatif pembiayaan yang menekankan prinsip keadilan dan kerja sama. Dalam sistem ini, keuntungan dan kerugian dibagi antara pemberi dana dan pengguna dana sesuai kesepakatan proporsi yang telah ditentukan sebelumnya. Tidak ada bunga yang dibebankan, melainkan pembagian keuntungan yang bergantung pada kinerja usaha yang dibiayai.

Larangan riba dalam ekonomi syariah berakar pada prinsip keadilan dan keseimbangan, mencegah eksploitasi ekonomi. Konsep ini, yang menekankan pembagian keuntungan dan risiko yang seimbang, berbeda dengan pendekatan ilmu pengetahuan lain. Perlu diingat, pemahaman mendalam tentang metode ilmiah penting, seperti yang dijelaskan dalam artikel mengapa biologi disebut sebagai ilmu pengetahuan , untuk membangun sistem ekonomi yang berkelanjutan.

Analogi ini membantu kita melihat bahwa, sama seperti biologi yang menggunakan metode teruji untuk memahami fenomena alam, ekonomi syariah juga menggunakan prinsip-prinsip etis dan rasional untuk mengatur transaksi keuangan, menghindari praktik yang tidak adil seperti riba. Dengan demikian, larangan riba menjadi landasan utama terciptanya sistem ekonomi yang lebih adil dan berkelanjutan.

Mudharabah: Kerja Sama Pemodal dan Pengelola

Mudharabah merupakan bentuk kerja sama antara dua pihak, yaitu shahibul maal (pemberi modal) dan mudharib (pengelola). Shahibul maal menyediakan modal, sementara mudharib mengelola usaha dan menjalankan operasional. Keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung oleh shahibul maal. Resiko yang ditanggung mudharib hanya berupa waktu dan tenaga, sedangkan kerugian ditanggung pemodal. Sebagai ilustrasi, seorang pengusaha membutuhkan modal untuk membuka toko kelontong. Ia bekerja sama dengan seorang investor (shahibul maal) yang memberikan modal. Keuntungan yang didapat dibagi sesuai kesepakatan, misalnya 70% untuk investor dan 30% untuk pengusaha. Jika usaha mengalami kerugian, kerugian ditanggung oleh investor.

Larangan riba dalam ekonomi syariah dilandasi prinsip keadilan dan keseimbangan, mencegah eksploitasi ekonomi. Analogi sederhana, bagaimana kita menghargai sebuah proses pembelajaran yang berkelanjutan, seperti yang dilakukan Ki Hajar Dewantara yang perjuangannya diabadikan sebagai “Bapak Pendidikan Nasional”—anda bisa membaca lebih lanjut di sini: mengapa ki hajar dewantara disebut sebagai bapak pendidikan nasional —begitu pula pentingnya keadilan dalam transaksi ekonomi.

Sistem riba, dengan bunga yang terus membengkak, merupakan bentuk ketidakadilan struktural yang bertentangan dengan nilai-nilai dasar ekonomi syariah. Intinya, riba merusak keseimbangan ekonomi dan merugikan pihak yang lemah, sebagaimana pendidikan yang tidak merata akan merugikan bangsa di masa depan.

Musyarakah: Kerja Sama Modal dan Pengelolaan, Mengapa dalam ekonomi syariah melarang adanya riba

Musyarakah mirip dengan mudharabah, namun bedanya pada musyarakah, kedua belah pihak (pemilik modal dan pengelola) sama-sama terlibat dalam pengelolaan usaha. Baik pemodal maupun pengelola turut serta dalam pengambilan keputusan dan manajemen usaha. Keuntungan dan kerugian dibagi sesuai kesepakatan proporsi modal dan peran masing-masing pihak. Contohnya, dua orang sepakat untuk mendirikan sebuah restoran. Mereka masing-masing berkontribusi modal dan terlibat aktif dalam operasional restoran. Keuntungan dan kerugian usaha dibagi sesuai kesepakatan.

Perbandingan Mekanisme Pembiayaan Syariah

Nama Mekanisme Cara Kerja Keuntungan Risiko
Murabahah Jual beli dengan keuntungan yang disepakati Transparan, sederhana Keuntungan terbatas pada selisih harga
Mudharabah Bagi hasil antara pemodal dan pengelola, pengelola tidak menanggung kerugian Potensi keuntungan tinggi, fleksibel Risiko kerugian ditanggung pemodal sepenuhnya
Musyarakah Bagi hasil antara pemodal dan pengelola, kerugian ditanggung bersama Potensi keuntungan tinggi, pengelolaan bersama Risiko kerugian ditanggung bersama
Bagi Hasil (Umum) Keuntungan dan kerugian dibagi sesuai kesepakatan Adil, mendorong efisiensi Ketidakpastian keuntungan, tergantung kinerja usaha
Baca Juga  Garena Free Fire Ditutup Dampak dan Reaksi

Implementasi Larangan Riba dalam Praktik

Mengapa dalam ekonomi syariah melarang adanya riba

Larangan riba dalam ekonomi syariah bukan sekadar aturan agama, melainkan pilar fundamental yang bertujuan menciptakan keadilan dan kesejahteraan ekonomi. Penerapannya, khususnya dalam sektor keuangan, menuntut adaptasi sistemik dan pengawasan yang ketat. Tantangannya beragam, mulai dari kompleksitas instrumen keuangan hingga pemahaman masyarakat. Namun, upaya-upaya berkelanjutan terus dilakukan untuk memastikan prinsip ini terimplementasi secara efektif dan berdampak positif pada perekonomian.

Penerapan Larangan Riba dalam Perbankan Syariah

Perbankan syariah, sebagai tulang punggung ekonomi syariah, menggantikan mekanisme bunga dengan prinsip bagi hasil (profit sharing) dan mudharabah (bagi hasil berdasarkan modal). Contohnya, dalam pembiayaan perumahan, bank syariah tidak mengenakan bunga tetap, melainkan membagi keuntungan dengan nasabah berdasarkan keuntungan yang dihasilkan dari proyek tersebut. Skema lain seperti murabahah (jual beli dengan harga pokok plus keuntungan) dan ijarah (sewa) juga diterapkan untuk menghindari unsur riba. Transparansi dan kesepakatan yang jelas antara bank dan nasabah menjadi kunci keberhasilan model ini.

Tantangan Implementasi Larangan Riba

Meskipun ideal, implementasi larangan riba di dunia nyata menghadapi berbagai tantangan. Pertama, kompleksitas instrumen keuangan konvensional yang masih dominan seringkali membuat sulit untuk sepenuhnya menghindari unsur riba dalam transaksi. Kedua, kurangnya pemahaman masyarakat tentang produk dan layanan keuangan syariah juga menjadi kendala. Ketiga, persaingan ketat dengan lembaga keuangan konvensional yang menawarkan suku bunga menarik membuat bank syariah perlu berinovasi agar tetap kompetitif. Terakhir, perlu adanya regulasi yang komprehensif dan penegakan hukum yang tegas untuk mencegah praktik riba terselubung.

Peran Lembaga Pengawas Syariah

Lembaga pengawas syariah (LPS) memegang peran krusial dalam mencegah praktik riba. LPS bertugas memastikan seluruh produk dan layanan keuangan syariah sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Mereka melakukan audit, memberikan fatwa, dan mengawasi kepatuhan lembaga keuangan syariah terhadap aturan. Keberadaan LPS yang independen dan kredibel sangat penting untuk membangun kepercayaan masyarakat dan melindungi kepentingan konsumen.

Rekomendasi untuk memperkuat implementasi larangan riba meliputi peningkatan literasi keuangan syariah, peningkatan inovasi produk dan layanan keuangan syariah yang kompetitif, penguatan regulasi dan pengawasan, serta kolaborasi yang erat antara lembaga keuangan syariah, pemerintah, dan masyarakat.

Sistem Ekonomi Syariah Bebas Riba: Keadilan dan Keberlanjutan

Bayangkan sebuah sistem ekonomi di mana transaksi keuangan didasarkan pada keadilan dan kemitraan, bukan eksploitasi. Dalam sistem ekonomi syariah yang bebas riba, pembiayaan usaha kecil dan menengah (UKM) lebih mudah diakses karena berfokus pada profit sharing, bukan bunga tinggi yang memberatkan. Distribusi kekayaan lebih merata karena keuntungan dibagi secara adil antara pemberi modal dan pengelola usaha. Investasi berorientasi pada pembangunan berkelanjutan, menghindari proyek-proyek yang merugikan lingkungan atau masyarakat. Hal ini menciptakan siklus ekonomi yang sehat, di mana pertumbuhan ekonomi berjalan beriringan dengan keadilan sosial dan pelestarian lingkungan. Sebagai ilustrasi, bayangkan sebuah koperasi petani yang mendapatkan pembiayaan dari bank syariah berbasis bagi hasil. Jika panen melimpah, keuntungan dibagi antara petani dan bank syariah, menciptakan kesejahteraan bersama. Sebaliknya, jika panen gagal, bank syariah tidak akan menuntut bunga, melainkan mencari solusi bersama untuk mengatasi kesulitan petani. Model ini menciptakan hubungan yang saling menguntungkan dan berkelanjutan, berbeda dengan sistem konvensional yang cenderung eksploitatif dalam situasi sulit.

Pemungkas

Kesimpulannya, larangan riba dalam ekonomi syariah bukanlah sekadar aturan, melainkan sebuah prinsip fundamental yang bertujuan menciptakan keadilan dan kesejahteraan. Dengan menghindari praktik riba, ekonomi syariah berupaya membangun sistem ekonomi yang berkelanjutan, menghindari eksploitasi, dan mempromosikan pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Meskipun implementasinya menghadapi tantangan, perkembangan perbankan syariah dan berbagai instrumen keuangan syariah menunjukkan potensi besarnya dalam membangun ekonomi yang lebih adil dan berkelanjutan. Memahami dan menerapkan prinsip-prinsip ekonomi syariah merupakan langkah penting dalam membangun masyarakat yang lebih sejahtera.